selamat siang gan, gue lg bt mendekati pusing nih minggu ga kemana-kemana, jadi mending ngpost hehe
itung-itung sembari menambah wawasan hoho, ydahlah langsung aje ni, dari pada kebanyakan cincong dan berujung males hoho ceknyiknyot :D
Senin 27 Agustus 1883 pukul 10.00 WIB adalah saat terakhir
penduduk di sekitar Selat Sunda melihat Matahari tengah naik ke puncaknya.
Setengah jam kemudian, mereka meregang nyawa diseret gelombang laut setinggi
sampai 40 meter… !! Jumlah seluruhnya 36.417 orang berasal dari 295 kampung di
kawasan pantai Banten dan Lampung. Keesokan harinya dan keesokan harinya lagi,
penduduk sejauh sampai Jakarta dan Lampung tak melihat lagi Matahari – gelap
gulita. Apa yang terjadi di hari yang seperti kiamat itu adalah letusan Gunung
Krakatau di Selat Sunda.
Bahkan University of North Dakota Volcanic Explosivity Index
(VEI) mencantumkan dua gunungapi di seluruh dunia yang letusannya paling hebat
dalam sejarah moderen : Krakatau 1883 (VEI : 6) dan Tambora 1815 (VEI :
7). Dua-duanya ada di Indonesia, tak jauh dari kita. Semoga kita, bangsa
Indonesia – terlebih yang menamakan dirinya geologist, mengenal dengan baik dua
gunungapi ini.
Peta terakhir sebelum krakatau meletus.
pada 11 Agustus, kapten angkatan darat Belanda, HJG
Ferzenaar, diperintahkan menyurvei Krakatau untuk kepentingan topografi
militer. Dia melewatkan dua hari di sana dan mencatat ada 14 lubang semburan di
atas pulau itu. Ia membuat peta pulau itu secara detial, termasuk titik-titik
berwarna merah yang menjadi pusat semburan.
Dia memberi catatan bahwa survei yang lebih rinci
“harus menunggu sampai nanti, sebab pengukuran di sana masih sangat berbahaya;
setidaknya, saya tidak akan suka menerima tanggung jawab mengirimkan seorang
surveyor.”
Namun, Krakatau tidak pernah bisa dipetakan lagi. Pada
27 Agustus 1883, pulau ini meledak dan hancur berkeping-keping. Peta Pulau
Krakatau yang dibuat Ferzenaar adalah yang terakhir yang pernah dibuat.
Letusan Krakatau dalam
Catatan
Saat letusan Gunung Krakatau tahun 1883, teknik
pendokumentasian canggih seperti sekarang belum ada. Sekalipun seismograf mulai
dikembangkan, belum ada jaringan yang mendunia, apalagi seismograf yang beroperasi
dalam radius 5.000 kilometer dari Krakatau ataupun teknologi satelit.
Rekaman suara, seperti telepon dan radio, telah
ditemukan, tetapi belum digunakan di belahan timur dunia. Teknologi film sudah
lahir, tetapi belum fleksibel dan mudah dibawa seperti saat ini. Keterbatasan
ini membuat dokumentasi melalui tulisan lebih banyak tersedia. Korespondensi,
jurnal, dan berita koran merupakan rekaman utama peristiwa letusan Krakatau.
Catatan-catatan dikumpulkan oleh
Tom Simkin dan Richard S Fiske dalam bukunya,Krakatau 1883: The Volcanic
Eruption and Its Effects. Sementara satu-satunya tulisan pribumi
tentang letusan itu termuat dalam “Syair Lampung Karam” yang dialihaksarakan
Suryadi Sunuri. Berikut beberapa ringkasan catatan tersebut.
Catatan Kapten Johan Lindeman yang membawa Kapal
Governor General Loudon melalui Selat Sunda. Kapal berangkat dari Batavia
membawa rombongan sebanyak 86 penumpang menuju Krakatau.
Minggu, 26 Agustus 1883, kapal mulai dihujani abu dan
batu apung. Angin mulai bertiup kencang dan kapal berjuang melewati Krakatau,
lalu melepas jangkar di dekat Teluk Betung, Lampung. Senin, 27 Agustus, sekitar
pukul 7 terlihat gelombang besar yang kemudian tumpah dan menyapu daratan.
Dengan tenaga uap, kapal menuju Anyer, sementara hujan lumpur dan abu membuat
lapisan tebal dan orang sulit bernapas.Suasana semakin gelap, dan pukul 10.30
pagi kegelapan total segelap malam menyelimuti. Disusul angin topan dan
gelombang tinggi setinggi surga (langit) dan membuat orang-orang khawatir bakal
terkubur gelombang, namun kapal terus melaju dengan kepala kapal menghadap ke
gelombang. Sore hari, angin mereda. Kegelapan menyelimuti hingga subuh pukul 4
keesokan harinya, 28 Agustus. Hari itu, sekitar pukul 6.50 sore, sampai dengan
selamat di Teluk Bantam. Dalam perjalanan pulang itu, terlihat bagian tengah
Krakatau telah menghilang.
Laporan koran Java Bode. Senin 27 Agustus 1883, tiba-tiba, sekitar
pukul 9, langit menjadi gelap. Orang-orang tidak bisa melihat dalam jarak dekat
dan lilin-lilin pun dinyalakan. Abu mulai berjatuhan, sementara langit di
bagian barat tampak cahaya kekuningan. Telegram pertama diterima dari Serang
yang mengabarkan letusan Krakatau. Letusannya terdengar dan pijaran apinya
terlihat pada malam hari di Serang. 28 Agustus 1883, dari Serang datang kabar
kondisi hujan abu dan korban jiwa di Anyer.
GF Tydemann adalah seorang letnan kapal perang
Koningin Emma der Nederlander. Tydemann menceritakan kedatangan tsunami. Pukul
9.30 pagi, kegelapan mulai menyelimuti. Tekanan udara di dalam kapal berubah
drastis, menimbulkan tekanan aneh di telinga. Sementara itu, hujan abu semakin
tebal. Bukan tekanan angin ternyata, melainkan tekanan air yang mengganggu
kapal hingga pukul 12.00 siang. Air mulai naik dengan cepat sebelum sore hari.
Begitu cepat dan tingginya sehingga segera menyapu bagian atas dermaga. Dan
tiba-tiba air bergulung menuju permukiman, dari sana terdengar teriakan dan
tangis ketakutan. Orang-orang dalam paniknya berusaha memanjat apa pun yang
mengambang, ke kapal-kapal di dermaga, kapal uap pemerintah Siak, dan akhirya
juga ke kapal Tydemann.
Satu-satunya kesaksian pribumi ditulis Muhammad Saleh
dalam bentuk “Syair Lampung Karam”. Ahli filologi dan dosen/peneliti di
Universitas Leiden, Suryadi Sunuri, mengalihaksarakan naskah yang aslinya ditulis
dalam bahasa Arab-Melayu (Jawi). Setelah meneliti syair itu, Suryadi
berpendapat, pengarang menulis syair itu di Kampung Bengkulu yang kemudian
dikenal sebagai Bencoolen Street di Singapura. Muhammad Saleh menyatakan datang
dari Tanjung Karang, Lampung, dan mengaku menyaksikan langsung malapetaka
akibat letusan Krakatau.
LEGENDA
KRAKATAU PURBA
Jauh sebelum para geolog
berspekulasi soal keberadaan Proto Krakatau ( krakatau Purba ), orang-orang
Jawa kuno sebenarnya telah memiliki keyakinan tentang keberadaan gunung
ini.Bahkan, dalam mitologi Jawa, konon, Pulau Sumatera dan Jawa awalnya masih
menyatu. Letusan Krakatau dianggap telah memisahkan daratan ini hingga menjadi
dua pulau, seperti dituturkan dalam ramalan Kitab Raja Purwa yang ditulis
pujangga Surakarta, Ronggowarsito, pada tahun 1869.
Berikut
keterkaitan kerakatau purba dengan Kitab Raja Purwa yang ditulis pujangga
Surakarta, Ronggowarsito.
Alkisah, daratan Jawa dan Sumatera waktu itu masih
menyatu. Suatu ketika, Sri Maharaja Kanwa, yang memimpin tanah Jawa, terbawa
angkara dan menikam seorang pertapa yang bernama Resi Prakampa hingga tewas.
Seketika itu juga Gunung Batuwara terdengar bergemuruh. Gunung Kapi—nama lama
Krakatau—mengimbanginya dengan letusan dahsyat, keluar apinya merah mengangkasa,
guruh guntur, air pasang menggelora, lalu datang bencana berupa air bah dan
hujan lebat. Nyala api yang merah membara tidak terpadamkan oleh air, malah
semakin besar. Gunung Kapi runtuh bercerai-berai masuk ke dalam bumi.
Air laut menggenangi daratan, mencapai Gunung Batuwara
atau Gunung Pulosari ke timur hingga Gunung Kamula, Gunung Pangrango atau
Gunung Gede, dan ke barat hingga Gunung Rajabasa di Lampung. Ketika laut telah
surut kembali, Krakatau dan tanah-tanah di sekitarnya telah menjadi lautan. Di
bagian barat laut dinamakan Pulau Sumatera dan di bagian timur dinamakan Jawa.
Narasi dalam Kitab Raja Purwa ini, bagi sebagian
ilmuwan Barat hanyalah dongeng yang awalnya dipandang sebelah mata. Kitab ini
nyaris tak pernah menjadi rujukan penelitian tentang Krakatau. Namun,
belakangan, temuan lapisan endapan yang jauh lebih tua dibandingkan letusan
1883 menguatkan bahwa Krakatau pernah meletus sebelum tahun itu.
“Sebelum pembentukan kaldera 1883, Krakatau minimal
dua kali meletus. Kami menemukan dua kelompok hasil letusan kaldera di bawah
lapisan endapan yang terbentuk pada tahun 1883, lokasi persisnya di singkapan
timur-tenggara Pulau Rakata dan Panjang,” kata Sutikno.
Pendataan karbon yang dilakukan oleh Haraldur
Sigurdsson tahun 1999 menemukan, di bawah endapan akibat letusan 1883 terdapat
endapan yang terbentuk pada tahun 1215 masehi dan 6600 sebelum masehi.Ahli
tsunami, Gegar Prasetya, juga meyakini keberadaan Krakatau Purba yang pernah
meletus jauh lebih hebat dibandingkan letusan tahun 1883. Bahkan, tidak menutup
kemungkinan “dongeng” tentang pemisahan Jawa dan Sumatera akibat letusan
Krakatau itu adalah kenyataan geologi.Ken Wohletz dari Los Alamos National
Laboratory telah membuat simulasi tentang kemungkinan pemisahan Pulau Jawa dan
Sumatera itu akibat letusan leluhur Anak Krakatau. Kesimpulannya, letusan super
(supereruption) berskala 8 dalam indeks letusan gunung api (volcanic
explosivity index /VEI) sebagaimana letusan gunung api super (supervolcano)
Toba di Sumatera Utara bisa sangat mungkin pernah terjadi di Krakatau.
Tak gampang membayangkan bagaimana kedahsyatan letusan
Proto Krakatau itu, mengingat letusan Krakatau pada 1883 saja sudah sedemikian
mengerikan dan menimbulkan petaka tak terperi...
Semangat Sob Posting- nya :D
ReplyDeleteiya bob, mkash sob, mkash juga atas kunjunganya ya guys :)) :D
ReplyDelete